Setengah dekade sebelum pandemi Covid-19, ekonomi berbagi dipandang sebagai konsep yang ideal. Didukung oleh era digital, konsep ini berjaya mengubah tatanan bisnis berbagai sektor industri. Misalnya, sektor pariwisata yang diramaikan dengan platform macam AirBnB serta sektor transportasi dengan platform ride-sharing seperti Uber.
Untuk beberapa saat, ide ini dapat menghemat biaya. Prinsip ekonomi berbagi sendiri adalah collaborative consumption. Pengusaha memanfaatkan lebih dari satu sumber daya untuk digunakan bersama-sama. Selain akomodasi penginapan semacam AirBnB dan ride-sharing platform seperti Uber, masih banyak contoh lain.
Ada juga jasa sewa pakaian bermerek seperti Rent the Runaway. Bahkan, hadirnya konsep co-working space sempat menguntungkan banyak perusahaan startup digital. Mereka cukup memesan satu atau dua kubikel dalam co-working space semacam WeWork atau GoWork. Tak perlu menyewa satu lantai atau gedung sendiri.
Namun, apakah cara ini efektif bagi kemakmuran rakyat? Yang semula efektif membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang menjadi berubah begitu pandemi Covid-19 mulai mendera pada 2020.
Tak tanggung-tanggung, banyak perusahaan startup digital yang kemudian terpaksa gulung tikar. Angka pengangguran semakin meningkat.
Karena pandemi Covid-19, sebanyak 50 produk, bisnis, hingga kebiasaan lama terdampak secara negatif. Ini termasuk berbagai produk yang menerapkan ekonomi berbagi, seperti ride-sharing dan co-working space.
Ketakutan akan penularan virus Corona secara masif membuat banyak orang yang enggan menggunakan jasa tersebut. Mereka lebih memilih bekerja dari rumah, terutama bagi yang mempunyai koneksi internet bagus.
Pandemi Covid-19 hanyalah salah satu dari tiga penyebab runtuhnya prinsip ekonomi ini. Satu penyebab lainnya adalah persaingan yang mematikan antar bisnis berbasis digital ini dengan bisnis konvensional. Apalagi, banyak warga Generasi Z yang lebih melek teknologi dan cenderung memilih menggunakan aplikasi digital.
Sayangnya, ini berarti menggerus bisnis konvensional. Apalagi, tidak semua orang bisa atau punya akses menggunakan teknologi digital.
Sebab lainnya lagi adalah belum jelasnya aturan hukum untuk bisnis digital semacam ini. Apalagi bila bisnisnya bisa lintas negara, berhubung banyak aplikasi yang bisa dipakai di beberapa negara. Belum semua negara mempunyai skema regulasi untuk model bisnis ini.
Akibatnya, banyak yang membangun bisnis digital ini dengan cara yang tidak sportif. Dengan dana investor yang cukup besar, tentu saja mereka tergerak untuk segera mendapatkan keuntungan. Bisnis lokal sektor serupa mudah kalah bersaing, apalagi bila tidak memanfaatkan teknologi digital.
Dampak Platform Seperti AirBnB dan Uber Bagi Pariwisata dan Transportasi
Platform digital seperti AirBnB dan Uber telah mengubah wajah bisnis sektor pariwisata dan transportasi. Bila sebelumnya kita harus mengandalkan informasi langsung dari website tempat penginapan, kini tinggal cek website atau aplikasi.
Bahkan, tidak tanggung-tanggung, ada kalanya platform ini memberikan diskon menginap di tempat penginapan yang bekerja sama dengan mereka.
Hal serupa terjadi dengan aplikasi ride-sharing seperti Gojek, Grab, maupun Uber. Bila dulu banyak yang harus bergantung pada layanan transportasi publik semacam bus, kereta api, taksi, angkot, hingga opang (ojek pangkalan), kini ada alternatif transportasi sewaan.
Rasanya seperti naik kendaraan pribadi tanpa harus menyetir, meskipun harus membayar.
Sebagai warga ibukota yang ritme hidupnya serba cepat, tentu saja platform ini menjadi pilihan banyak warga. Tidak perlu lagi harus jengkel menunggu lama angkot yang suka berhenti sembarangan. Hal ini berdampak pada sepinya penumpang untuk beberapa layanan angkutan umum lain.
Namun, bahkan sebelum pandemi Covid-19 mendera pada 2020 lalu, platform ride-sharing seperti Uber sudah menuai masalah. Misalnya, sopir yang tak beretika baik pada penumpang, sopir yang tak hafal rute jalan (dan bahkan malas melihat-lihat peta digital), hingga sopir yang tak taat aturan lalu lintas.
Makanya, tidak heran bila masih banyak yang memilih layanan konvensional, terutama untuk industri pariwisata maupun sektor transportasi. Pada kenyataannya, ekonomi berbagi tidak melulu efektif bagi kemakmuran rakyat.
Meskipun awalnya dapat membuka kesempatan kerja, perangkat digital hanyalah alat untuk membantu kelancaran kerja. Pada akhirnya, etika hanya bisa didapatkan dari sesama manusia.
Kesimpulan
Ekonomi berbagi sesungguhnya merupakan konsep yang baik sekali. Dengan memanfaatkan sumber daya alam untuk berbagi dan didukung perangkat teknologi digital, banyak jenis usaha baru yang muncul.
Hal ini juga memicu terbukanya lapangan kerja bagi banyak orang. Tentu saja, mereka bisa bekerja selama mempunyai akses ke teknologi digital. Namun, pada kenyataannya, teknologi digital tidak selalu menjamin kualitas pelayanan yang diberikan.
Mungkin saat ini, banyak pelanggan yang mengeluhkan aplikasi yang bermasalah atau koneksi internet yang kurang mendukung. Namun, pastinya masih lebih banyak keluhan seputar pelayanan manusia di baliknya. Belum lagi potensi eksploitasi para pekerja di balik aplikasi digital layanan ini.
Pandemi Covid-19 juga menyadarkan bahwa ekonomi berbagi juga tidak efektif untuk kemakmuran rakyat. Kondisi darurat tersebut memaksa banyak orang untuk tidak keluar rumah dan menghindari interaksi dengan terlalu banyak orang. Akibatnya, banyak bisnis digital yang bangkrut, apalagi karena gagal mengembalikan modal atau memberi profit kepada investor.