Perusahaan teknologi keuangan di seluruh dunia mengalami kesulitan baru-baru ini karena peningkatan harga barang dan suku bunga. Kondisi tersebut akhirnya memaksa banyak investor untuk menarik uang mereka dari bisnis keuangan.
Banyak perusahaan juga kesulitan mendapatkan uang, dan nilai mereka menjadi lebih rendah. Klarna, sebuah perusahaan dari Swedia yang punya ide bisnis yang mirip dengan Pay Later, bahkan mengalami hal yang sama.
Valuasi perusahaan ini dipotong menjadi USD6,7 miliar selama pendanaan 2022. Angka itu turun 85 persen dari USD46 miliar tahun sebelumnya. Anehnya, teknologi keuangan Asia seolah tidak terdampak oleh hal ini. Investasi teknologi keuangan di Asia justru mencapai rekor tertinggi sebesar USD50,5 miliar tahun lalu.
Jatuhnya kreditur ternama yang berbasis di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank, pun makin mempersuram keadaan perekonomian global. Namun, sekali lagi, teknologi keuangan di Asia justru kian terang-benderang.
Dari sudut pandang manapun, perhatian keuangan teknologi saat ini sedang bergerak ke Asia. Saat Amerika Serikat menarik investasi besar, jumlah itu diikuti oleh Asia yang mendapatkan kenaikan 38% dari tahun sebelumnya.
Negara di Asia, terutama Cina, tuan rumah dari empat unicorn fintech, beserta Jepang dan Korea memimpin inovasi fintech dunia. Kenyataan ini tentu bukan tanpa alasan. Meskipun negara-negara barat telah menguasai industri ini sejak puluhan tahun lalu, teknologi keuangan tampaknya masih terlalu asing bagi mereka.
Baca juga: Strategi Pengembangan Ekonomi Daerah
Hal ini pun diambil sebagai kesempatan oleh negara-negara Asia, seperti Cina dan India. Selain beberapa negara tersebut, negara-negara kecil lainnya juga memanfaatkan perkembangan industri ini. Saat ini, teknologi tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dari sebagian besar negara Asia. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Kenapa Asia Menjadi Ladang Subur Keuangan Teknologi
Salah satu wilayah target pasar teknologi keuangan yang mengalami perkembangan pesat adalah Asia Tenggara. Ada banyak faktor di balik pertumbuhan ini, salah satunya adalah akses keuangan yang kurang memadai. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa hanya sekitar 49 persen penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank.
Sementara jumlah penduduk Kamboja yang memiliki rekening hanya ada 22 persen. Angka yang sama terlihat dari beberapa negara lainnya. Atas alasan itulah sangat sulit bagi penduduk negara tersebut untuk meminjam, menabung, atau mengatur keuangan secara efisien.
Oleh karena itulah, perusahaan teknologi keuangan menjadi bagian yang penting bagi para penduduk Asia. Mereka berhasil memperbaiki kondisi keuangan para penduduk di wilayah tersebut.
Dilaporkan bahwa kegiatan pengumpulan dana untuk perusahaan teknologi di wilayah tersebut tumbuh sebesar 143 persen pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara investasi di industri tersebut meningkat sebesar 30 persen.
Kondisi ini juga didukung oleh keberadaan penduduk berusia muda yang melek teknologi. Dengan banyaknya orang yang melek teknologi, industri ini akan semakin mudah berkembang di negara tersebut.
Separuh penduduk Indonesia berusia di bawah 30 tahun dan dengan jumlah pemakai ponsel pintar yang mencapai 50 persen, negara ini sangat siap menerima produk dari industri ini di genggaman mereka.
Di Cina dan India, hal ini sudah berjalan lancar dengan setengah penduduk dewasanya yang menggunakan internet telah rutin menggunakan layanan teknologi ini. Di Asia Tenggara, banyaknya populasi yang masih belum memiliki rekening tetapi mau menggunakan produk teknologi keuangan menciptakan salah satu pasar fintech yang paling cepat bertumbuh di dunia.
Di sisi lain, Singapura meraup keberhasilan besar dari teknologi ini berkat masyarakat yang terbuka dan pemerintah yang proaktif mendukung inovasi keuangan ini.
Negara tersebut selalu menjadi inovator di bidang pembayaran digital dengan 500 firmanya yang mampu menawarkan solusi keuangan, mulai dari pembayaran dan peminjaman perorangan hingga perdagangan dan penggalangan dana menggunakan mata uang kripto.
Pada 2018, Bang Pusat Filipina merumuskan kebijakan untuk meningkatkan jumlah pembayaran digital dua puluh kali lipat dalam waktu cepat, dari satu persen pada 2017 menjadi 20 persen pada 2020. Di Vietnam, dorongan ini datang dari pemerintah yang menginginkan pembayaran nontunai pada 2020.
Baca juga: Upaya Penguatan Ekonomi Indonesia Pasca Pandemi
Masa Depan Keuangan Teknologi Asia
Pertumbuhan teknologi keuangan di berbagai daerah Asia telah melaju pesat, tetapi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang masih sangat luas. Saat industri perbankan konvensional mengalami masalah akibat pandemi, industri teknologi keuangan berhasil tumbuh.
Banyak ahli yang percaya bahwa gambaran di atas hanya permulaan. Seiring dengan perkembangan industri ini, kamu akan melihat semakin banyak produk dan layanan yang tersedia.
Cina dan India masih sangat mungkin menjadi pusat utama dari perkembangan dan pertumbuhan ini. Namun, banyak pasar lain di daerah tersebut yang memiliki kemungkinan besar untuk muncul sebagai pemimpin di industri ini, salah satunya adalah Singapura.
Saat banyak perusahaan eCommerce di negara barat masih mempertimbangkan apakah mereka harus mengembangkan jasanya ke industri keuangan, hal itu sudah terjadi di Asia. Perusahaan seperti Alibaba dan Tencent adalah perusahaan yang telah berhasil merambah ke industri tersebut berkat jasa keuangan mereka.
Keuangan teknologi telah berhasil mengubah cara hidup dan bisnis masyarakat, melakukan pembayaran, menyimpan uang, berinvestasi, dan membeli barang yang hanya bagian awal dari kemunculannya.
Untuk melancarkan inovasi di industri ini, banyak ahli ekonomi yang menggunakan regulasi lain agar industri ini dapat memberikan manfaat lebih luas.